SYARAT UTAMA DITERIMANYA AMAL IBADAH
Oleh: Afrizal Al Daudy
A. TUJUAN
DAN HIKMAH PENCIPTAAN MANUSIA dan JIN
Sesungguhnya Allah Ta’alamenciptakan
alam semesta tidaklah dengan sia-sia atau tanpa hikmah di balik penciptaan
tersebut. Aka tetapi Allah memiliki maksud dan tujuan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman
:
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ
وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلاً
“Dan Kami tidak menciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya keduanya tanpa hikmah” (QS. Shaad : 27)
Adapun hikmah dari penciptaan jin
dan manusia di alam semesta ini adalah agar mereka beribadah kepada
Allah dan tidak mensekutukan-Nya. Allah Ta’alaberfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku”. ( (QS. Al Dzariyat :
56)
Inilah tujuan yang agung dari
penciptaan jin dan manusia, yaitu agar mereka hanya beribadah kepada Allah. Hal
ini menunjukkan bahwa tidaklah Allah menciptakan mereka karena Allah butuh
kepada mereka, akan tetapi justru merekalah yang membutuhkan Allah. Dan ayat
ini menunjukkan pula tentang wajibnya manusia dan jin untuk mentauhidkan Allah
dan barang siapa mengingkarinya maka ia termasuk orang yang kafir, yang tidak
ada balasan baginya kecuali neraka.
B. MAKNA
IBADAH
Arti Ibadah ( العِبَادَةُ )
secara bahasa adalah tunduk dan menghinakan diri serta khusyu’.
Di dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith ibadah artinya”tunduk
kepada Tuhan yang menciptakan”. Imam Al Qurthubyberkata ”Asal
ibadah ialah tunduk dan menghinakan diri”.
Secara istilah arti ibadah adalah
sebagaimana perkataan Ibnu Katsir :“Ibadah
adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkan dan
menjauhi hal-hal yang dilarang”. KemudianIbnu Taimiyah berkata
: “Ibadah ialah sesuatu yang mencakup semua perkara yang dicintai
dan diridhoi Allah berupa perkataan atau perbuatan yang nampak atau pun tidak
nampak”.
C. HUKUM
IBADAH
Hukum asal dari ibadah
adalah haram kecuali ada dalil. Maksudnya adalah semua
bentuk ibadah adalah haram untuk dikerjakan kecuali kalau ada dalil dari
Al-Qur’an Al-Karim atau Hadits Shohih yang mewajibkannya ataumensunahkannya.
Seperti sholat, puasa, zakat, haji adalah haram dikerjakan pada asalnya, namun
dikarenakan ada dalil yang mewajibkannya maka hukumnya menjadi wajib untuk
dikerjakan.
Dalil tentang wajibnya sholat dan zakat adalah
firman Allah Ta’ala:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا
الزَّكَاةَ
“Dirikanlah sholat dan
tunaikanlah zakat” ( QS. Al Baqoroh : 83 )
Dalil tentang kewajiban puasa adalah
firman Allah Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang beriman,
diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian agar kalian bertakwa” ( QS. Al Baqoroh : 183 )
Dalil tentang kewajiban haji adalah
firman Allah Ta’ala :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ
الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah”. (
QS. Ali ‘Imran : 97 )
Kemudian sabda Nabi shallallahu
alaihi wasallam :
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ
الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Islam dibangun di atas lima
perkara, yaitu : persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Allah I semata dan persaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul
–Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa romadhon dan pergi haji”. [ HR.
Bukhari dan Muslim]
D. SYARAT
UTAMA DITERIMANYA IBADAH
Peribadatan seorang hamba yang
muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua
syarat utama berikut ini, yaitu :
1. IKHLAS ( اَلإِخْلاَصُ )
Ikhlas merupakan salah satu makna
dari syahadat ( أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah
itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah I berfirman
:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama”.
[QS. Al Bayyinah : 5]
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ
الدِّينَ
“Maka beribadahlah kepada Allah
dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2]
Kemudian Rasulullah r bersabda
:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ
يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ
وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak
menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho
Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]
Lawan daripada ikhlas adalah
syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau
beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan
amalan pada orang lain), sum’ah(memperdengarkan suatu amalan pada
orang lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya).
Kesemuanya itu adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar
ibadahnya itu diterima oleh Allah I . Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ
عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya sesuatu yang paling
aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya :
“Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR.
Ahmad]
Kemudian firman
Allah tentang larangan syirik ialah,
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ
أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]
Orang yang rajin beribadah kepada
Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan
syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah
dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat
kelak, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ
عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan”.
[QS. Al-An’aam: 88]
وَلَقَدْ
أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ
لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan Sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]
2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )
Al-Ittiba’ (Mengikuti
Tuntunan Nabi Muhammad r) merupakan salah satu dari makna syahadat
bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ), yaitu
agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi
Muhammad r . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah
diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak,
walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya
ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah telah memerintahkan
kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad dalam
segala hal, dengan firman-Nya :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah”.[QS.
Al Hasyr : 7]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]
Dan Rasulullah r juga telah
memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh
atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan suatu
amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR.
Muslim]
Itulah tadi dua syarat yang
menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah, sebagaimana
firman-Nya :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ
رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا
“Barang siapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan
janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]
Berkata Ibnu Katsir di
dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi
pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan
syari’at Rasulullah .”
Jadi kedua syarat ini haruslah
ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan
antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al
Fudhoil bin ‘Iyadh :
“Sesungguhnya andaikata suatu
amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan
tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan
itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas,
juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas
semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.
Maka barang siapa mengerjakan
suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah semata dan cocok dengan tuntunan
Rasulullah niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah.
Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah
itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput
dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan
tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar
mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya
akan baik”.
Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya
mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r) tidak akan tercapai / terwujud kecuali
apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam)
perkara, yaitu :
1. SEBAB ( اَلسَّبَبُ )
Jika seseorang melakukan suatu
ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut
adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan
sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah
malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad r. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang
dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada
syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.
2. JENIS ( اَلْجِنْسُ )
Ibadah harus sesuai dengan
syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih
kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena
jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.
3. BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )
Kalau ada orang yang menambahkan
rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah
bid’ah dan tidak diterima oleh Allah. Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur
5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak
diterima oleh Allah karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad.
4. TATA
CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )
Seandainya ada orang berwudhu
dengan membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah
karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan
Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.
5. WAKTU ( اَلزَّمَانُ )
Apabila ada orang yang
menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat
Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu
sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan
zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai
sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal
13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum
dilaksanakannya sholat Idul Fitri.
6. TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )
Apabila ada orang yang menunaikan
ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan
i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak
sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di
Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.
Sehingga dengan memperhatikan
enam perkara tersebut, maka kita dapat mencocokkan / mengoreksi apakah amal
ibadah yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Allah dan Rasul-Nya atau
tidak?.
Demikian
pembahasan singkat tentang syarat-syarat utama diterimanya amal ibadah. Semoga
bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar