7 Indikator Kebahagiaan Dunia Menurut Sahabat Ibnu
Abbas
Gbr 1. Afrizal
M. Daud
Siapa
yang tidak kenal dengan Ibnu Abbas. Sahabat senior yang selalu menyertai
baginda Rosulullah sallallahu alaihi wasallam. Dikalangan para mufassir,
beliaulah terunggul di antara yang lain. pada umur 9 tahun saja ibnu Abbas
kecil telah hafal Al-Qur’an dan menjadi imam masjid. Sampai Nabi pun pernah
berdo’a khusus untuk beliau.
“Allahumma
faqqohhu fiidaini,wa a’llamhutta’wiila”
artinya:“ya Allah,berilah kepadanya pemahaman tentang agama dan ajarilah dia tentang takwil”
artinya:“ya Allah,berilah kepadanya pemahaman tentang agama dan ajarilah dia tentang takwil”
Suatu
hari ia pernah ditanya oleh para tabi’in tentang mengenai apa yang dimaksud
dengan kebahagiaan dunia.
Ibnu
Abbas menjawab, ada 7 indikator mengenai kebahagiaan dunia:
Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur.
Memiliki
jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada
ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu
bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat
Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan
pemberian dan keputusan Allah.
Bila
sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu :
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi.
Maka
berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang
sholeh.
Pasangan
hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula.
Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta
pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan.
Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti
akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh.
Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan
yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan
suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri
yang sholeh.
Ketiga,
al auladun abrar, yaitu anak yang soleh.
Saat
Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda
yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya
kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya
Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya
sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu
saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu
sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya
Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada
orang tua ?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat,
albiatu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita.
Yang
dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun
tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang
yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya,
Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang
sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan
mengingatkan kita bila kita berbuat salah.
Orang-orang
sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang
selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut
menyinari orang-orang yang ada disekitarnya.
Berbahagialah
orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima,
al malul halal, atau harta yang halal.
Paradigma
dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak
berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam
riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan
seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata
Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya
didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang
yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang
halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih,
suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah
orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami
agama.
Semangat
memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam.
Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk belajar lebih jauh lagi
ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya.
Allah
menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin
cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya.
Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya.
Semangat
memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati
yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah
orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur
yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap
detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk
kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak
bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa
dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada
bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan
terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak
mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi
umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah)
maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari
tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa
takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera
merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah.
Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah
orang-orang yang umurnya baroqah.
Demikianlah
pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana
caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia
tersebut ? Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada
Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa `sapu jagat’ ,
yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama
doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya Allah
karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai makna bahwa kita sedang
meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu
Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang
soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk
memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Walaupun
kita akui sulit mendapatkan ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita,
setidak-tidaknya kalau kita mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.
Sedangkan
mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw”
(yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah
dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah,
kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita
masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.
Amal
soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan
sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh
sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan
nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Kata
Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke
surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”.
Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para
sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi
SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan
Allah semata”.
Jadi
sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga
tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita
mendapatkan surga Allah (Insya Allah, Amiin).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar